ESTETIKA RESEPSI DAN TEORI
PENERAPANNYA
Estetika resepsi atau
estetika tanggapan adalah estetika (ilmu keindahan) yang didasarkan pada
tanggapan-tanggapan atau resepsi pembaca terhadap karya sastra karena karya
sastra itu tidak lepas dari individu atau masyarakat.
Pada dasarnya orientasi
terhadap karya sastra itu ada 4 macam seperti digambarkan oleh M.H Abrams,
yaitu :
- mimetik/alam/universal, mimetik menjadi alat tiruan bagi sebuah karya sastra sebagai kreatifitas pengarang. Menurut Abrams, karya sastra adalah sebagai tiruan alam atau penggambaran alam. Segala sesuatu yang terdapat dalam karya sastra adalah wujud yang terdapat di alam semesta. Segala isi yang ada di dunia ini menjadi ide yang dituangkan dalam sebuah karya sastra.
- objektif/karya sastra, karya sastra tidak adalah alat pengungkapan perasaan pengarang yang menjadi kreatifitasnya. karya sastra menjadi objek tiruan alam. Sebuah karya sastra tidak akan mampu menjadi objek yang estetis tanpa meniru dari alam karena manusia hidup di alam dengan sarana-saranya yang ada di dunia, sehingga jika manusia menjadikan karya sastra tanpa tanpa tiruan dari alam maka mustahil karya sastra itu akan menimbulkan rasa bagi pembacanya. Karena rasa yang ada dalam jiwa pembaca itu karena pembaca merasakannya di alam yaitu tempat manusia hidup.
- ekspresif/pengarang, adalah sebagai pembuat ide dan kreatifitas. Seorang pengarang melihat kenyataan atau realitas alam lalu alam memunculkan sebuah ide dalam fikiran pengarang kemudian pengarang menuangkannya dalam sebuah karya sastra. Maka faktor mimetik dalam teori Abrams sangat berpengaruh dalam kesastraan karena pengarang tidak akan mampu berkreatifitas tanpa adanya tiruan yaitu alam semesta.
- pragmatik/pembaca, pembaca ketika melihat sebuah karya sastra pasti akan melakukan sebuah tanggapan atau komentar tentang karya sastra yang dibacanya, karena dalam hal ini karya sastra melakukan defamiliarisasi dalam bentuk bahasanya sehingga defamiliarisasi mampu menggugahkan hati pembaca dengan rasa yang ada di jiwanya karena bahasa defamiliarisasi berbeda dengan bahasa praktis atau bahasa komunikasi. Pembaca mendapatkan sebuah rasa ketika membaca sebuah karya sastra karena karya sastra adalah memuat tentang tiruan alam sehingga pembaca mampu merasakan apa yang dibahas oleh kajian karya sastra tersebut.
Sebuah karya sastra tidak akan
mempunyai nilai tanpa adanya tanggapan dan penilaian pembaca, karena itu faktor
pragmatik juga sangat penting diterapkan yaitu pada teori resepsi pembaca.
Dalam hubungan ini estetika
resepsi itu termasuk pada orientasi pragmatik. Karya sastra itu sangat erat
hubunganya dengan pembaca, yaitu karya sastra itu ditujukan kepada pembaca,
bagi kepentingan masyarakat pembaca. Disamping itu pembacalah yang menentukan
makna dan nilai karya sastra. Karya sastra itu tidak mempunyai arti tanpa ada
pembaca yang menanggapinya dan karya sastra akan mempunyai nilai karena pembaca
yang menilai.
Dalam hubunganya dengan
resepsi atau tanggapan pembaca itu akan berbeda beda tanggapannya karena
pembaca mempunyai tangapan dan pemikiran sendiri mengenai objeknya. Hal ini
disebabkan oleh perbedaan cakrawala harapannya. Cakrawala harapan ini adalah
harapan-harapan seorang pembaca terhadap karya sastra. Tiap pembaca mempunyai
wujud sebuah karya sastra sebelum ia membacanya. Dalam arti, seorang pembaca
mempunyai konsep tertentu tentang sebuah karya sastra baik puisi, cerpen,
novel, atau bentuk karya sastra lainnya. Seorang pembaca itu mengharapkan bahwa
karya sastra yang dibaca itu sesuai dengan pengertian sastra yang dimilikinya.
Dengan demikian, pengertian mengenai sastra seseorang dengan orang lain itu
mungkin berbeda, lebih-lebih pengertian sastra antara sebuah periode dengan
periode lain itu tentu akan sangat berbeda. Perbedaan itu disebut perbedaan
cakrawala harapan. Adapun cakrawala harapan seseorang itu ditentukan oleh
pendidikan, pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan dalam menanggapi karya
sastra. Begitu juga halnya cakrawala harapan sebuah periode. Hal ini seperti
juga diterangkan oleh Segers, bahwa cakrawala harapan itu ditentukan oleh tiga
faktor, yaitu:
- Ditentukan oleh norma-norma yang terdapat dari teks yang telah dibaca
- Ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya.
- Pertentangan antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami baik dari unsur intrinsik maupun ekstrinsik sebuah karya sastra.
Sebuah karya sastra adalah
wujud ekspresi yang padat, maka hal-hal yang kecil tidak disebutkan, begitu
juga hal-hal yang tak langsung berhubungan dengan cerita atau masalah. Dengan
demikian, setiap pembaca diharapkan mengisi kekosongan tersebut.
Dalam teori estetika resepsi
hal yang paling utama diperhatikan adalah pembaca karya sastra yang berada
diantara posisi segitiga pengarang, karya sastra, dan masyarakat pembaca. Hal
ini disebabkan oleh kehidupan historis sebuah karya sastra tidak terfikirkan
tanpa partisipasi para pembacanya.
Apresiasi pembaca pertama
terhadap sebuah karya sastra akan dilanjutkan dan diperkaya melalui
tanggapan-tanggapan yang lebih lanjut dari generasi ke generasi. Dengan cara
ini makna historis karya sastra akan ditentukan dan nilai estetika terungkap.
Sebuah karya sastra bukanlah objek yang berdiri sendiri dan yang memberikan
wajah yang sama pada masing-masing pembaca disetiap periode.
Dalam metode estetika resepsi
diteliti tanggapan-tanggapan setiap periode, yaitu tanggapan-tanggapan sebuah
karya sastra oleh para pembacanya, yaitu pembaca yang kritikus sastra dan ahli
sastra yang dipandang dapat mewakili para pembaca pada periodenya.
Dalam meneliti karya sastra
berdasarkan metode estetik resepsi, sesungguhnya dapat dilakukan dengan dua
cara yaitu cara sinkronik dan diakronik. Sinkronik ialah cara penelitian
resepsi terhadap sebuah karya sasra dalam satu masa atau periode. Jadi, disini
yang diteliti oleh resepsi pembaca dalam satu kurun waktu. Namun, harus diingat
bahwa dalam satu kurun waktu itu, biasanya ada norma-norma yang sama dalam
menanggapi karya sastra. Akan tetapi, karena tiap-tiap orang itu memiliki
cakrawala harapan sendiri-sendiri, maka mereka akan menanggapi sebuah karya
sastra secara berbeda-beda seperti dalam paham seni untuk seni dan seni untuk
masyarakat yaitu dalam teori Marxisme. Marxis mengatakan bahwa pengarang harus
membela kaum bawah dan kaerya sastra yang baik adalah karya sastra ynag membela
kaum bawah, kaum bawah dalam hal ini adalah masyarakat. Marxis sangat menentang
seni untuk seni karena menurutnya seni yang baik adalah seni yang memuat
mengenai keadaan masyarakat dan kenyataan hidupnya.
Teori resepsi pembaca juga
dapat dihubungkan dengan paham formalisme karena formalis juga menekankan
konsep deotomatisasi. Formalisme lebih menekankan pada bentuk (form) dan isi
dalam bahasa. Ketertarikan utama dari kaum formalis adalah untuk menentukan
perbedaan kualitas dari puisi dan seni dalam perbandingan dengan bahasa
praktis, hal ini berhubungan dengan bahasa yang defamiliarisasi, karena kaum
formalisme menekankan dua konsep dalam penelitian sastra, yaitu : konsep
defamiliarisasi dan deotomisasi. Konsep defamiliarisasi adalah konteks sifat
sastra yang asing, para pengarang boleh saja membuat teks sastra berbeda dengan
suasana sesungguhnya, akibatnya teks sastra akan sulit dipahami karena
menggunakan bahasa yang spesifik. Dalam hal ini teks sastra kehilangan
otomatisasi (deotomatisasi) untuk dipahami oleh pembaca. Pembaca dapat membuat
tafsiran sendiri-sendiri karena pembaca tidak secara otomatis atau langsung
dapat menangkap makna teks tanpa tafsiran, ini hubungannya dengan otomatisasi
persepsi pembaca yaitu semua pembaca mempunyai tafsirannya sendiri-sendiri
secara berbeda.
Adapun mengetahui tanggapan
yang bermacam-macam itu dapat dikumpulkan tanggapan-tanggapan pembaca yang
menulis (kritikus) ataupun dapat dilakukan dengan mengedarkan angket kepada
pembaca-pembaca sekurun waktu. Dari hasil angket yang diedarkan itu, dapat
diteliti konkretisasi dari masing-masing pembaca. Dengan demikan, dapat disimpulkan bagaimana
nilai sebuah karya sastra itu pada suatu kurun waktu.
Akan
tetapi, meskipun telah dapat diketahui konkretisasi pembaca-pembaca terhadap
suatu karya sastra pada suatu kurun waktu, bagaimanapun berbagai macam
tanggapan atas sebuah karya sastra, namun nilai seni karya satra tersebut belum
teruji historis. Maka, penelitian secara diakronislah yang akan lebih kuat
menunjukan nilaqi seni sebuah karya sastra sepanjang waktu yang telah
dilaluinya.
Penilaian
secara diakronis ini dapat dilakukan seperti yang telah disinggung dalam fasal
empat, yaitu dengan mengumpulkan tanggapan-tanggapan pembaca-pembaca ahli
sebagai wakil pembaca dari tiap periode.
Misalnya saja, bila orang akan meneliti konkretisasi dan nilai sajak
Chairil Anwar, maka dapat diteliti bagaimana resepsi pembaca semasa karya itu
terbit, kemudian diteliti resepsi-resepsi pada periode-periode selanjutnya, dan
resepsi pada periode sekarang ini terhadap karya-karya tersebut. Dengan
demikian akan dapat diketahui atau disimpulkan bagaimana nilai estetik sebuah
karya sastra berdasarkan resepsi-resepsi setiap periode itu. Dalam penelitian
itu diteliti dasar-dasar apa yang dipergunakan oleh pembaca disetiap periode ;
norma-norma apa yang menjadi dasar konkretisasinya ; dan diteliti kriteria apa
yang menjadi dasar penilaiannya. Bila sebuah karya sastra dapat diketahui dasar
konkretisasinya dan penilainnya disetiap periode yang dilaluinya, maka dapat
disimpulkan nilai estetiknya sebagai karyua seni sastra. Bila disetiap periode
karya sastra tersebut mendapat nilai positif, hal ini berarti karya sastra
tersebut bernilai abadi, karya sastra tersebut bernilai tinggi.
Penilaian
estetika tanggapan (resepsi) dapat dikenakan pada naskah-naskah tulisan tangan
sastra lama maupun sstra modern yang tercetak.
·
Penelitian Estetika Resepsi
Naskah Tulisan Tangan Sastra Lama
Dalam karya sastra lama yang
dicipta dalam kurun waktu sebelum ada percetakan, terdapat beberapa versi
naskah tulisan tangan dari sebuah karya sastra. Hal ini disebabkan oleh
penurunan naskah tulisan tangan dilakukan oleh beberapa orang yang menyalin
naskah dengan tulisan tangan.
Dalam meneliti salah satu
versi ini biasanya peneliti menggunakan metode perbandingan teks, membandingkan
naskah yang satu dengan yang lain. Metode ini disebut metode stema yang
diharapkan dapat ditumukan untuk yang diperkirakan menyamai bentuk
archetype-nya, tulisan aslinya yang sudah tidak ada. Menurut teori ini dianggap
terdapat kesalahan-kesalahan dalam menurun dari satu naskah ke naskah
turunanya, karena dari waktu ke waktu naskah diturun, maka makin lama makin
banyak kesalahan yang diturunkan sehingga naskah yang termuda mungkin akan
sangat menyimpang dari naskah aslinya. Akan tetapi berdasarkan teori estetika
resepsi mungkin kesalahan-kesalahan tersebut memang sengaja dibuat oleh para
penyalinnya. Hal ini disebabkan oleh tiap periode mempunyai cakrawala
harapannya sendiri. Maka, menurut teori estetika tanggapan, para penyalin itu
bukan hanya sekedar menurun, melainkan menciptakan versi yang baru. Dengan
demikian, menurut teori estetika tanggapan, tiap naskah itu dianggap asli dan
tidak perlu dicari archetype-nya.
·
Penelitian Estetika Resepsi
pada Karya Sastra Modern
Untuk meneliti karya sastra
modern pada dasarnya sama dengan penelitian resepsi lama yaitu dengan metode
seperti dikemukakan Segers yang telah terurai pada Fasal empat misalnya bila
orang hendak meneliti resepsi sajak-sajak Chairil Anwar, orang
merekonstruksikan macam-macam konkretisasinya dalam masa sejarahnya. Dapat
dikatakan yang pertama kali menaggapi sajak-sajak Chairil Anwar adalah H.B.
Jassin ; tanggapan berjudul “Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45”. H.B.
Jassinmenilai sajak-sajak Chairil Anwar secara judisial ekspresif, dengan
kreteria estetik dan ekstra estetik. Dekatakan sajaknya revolusioner bentuk dan
isi, meledak-ledak, melambung ke ketinggian menggamangkan dan menerjun ke
kedalaman menghimpit-mengerikan.
Disamping
itu ada pula tanggapan dari golongan sastrawan lama atau kritikus LEKRA ynag
berpaham “seni untuk rakyat” dan bersemboyan polotik sebagai panglima. Salah
satu tanggapan dari kritikus LEKRA yang dpat dianggap sebagai wakilnya adalah
Klara Akustia dalam tulisannya yang berjudul “Kepada Seniman Universil”. Secara
bentuk ia sependapat dengan Jassin, tetapi corak revolusi kesusastraan Chairil
Anwar tidak mengenai isi, hanya mengenai bentuk, yaitu formnya saja. Ia menolak
pandangan hidup Chairil Anwar, tetapi
mengakui bentuk sastra barunya. Dikemukakan kriteria penilaiannya : ‘Syarat
hasil sastra yang tinggi nilai seninya bagi kita adalah dia harus isi dan
bentuknya! Artinya dia harus indah, berseni, dan membawa pandangan hidup yang
maju.
Setelah
J assin dan seniman LEKRA, maka terdapat Sutan Takdir Alisyahbana menanggapi
dan memberi penilaian kepada sajak-sajak Chairil Anwar, namun pandangannya
dapat dianggap mewakili suara angkatan Pujangga Baru. Tanggapan tampak dlaam
artikelnya “Penilaian Chairil Anwar Kemabali”. Takdir menilai bahwa Chairil
Anwar membawa suasana, gaya, ritme, tempo, nafas, dan kelincahan yang baru
kepada sastra Indonesia.
Karena
penilaian Takdir Alisjahbana pragmatik, yang menghendaki karya sastra berguna
bagi pembangunan bangsa, maka sajak-sajak Chairil Anwar yang pesimistis dan
berisi pemberontakan itu diupamakan sebagai rujam asam, pedas, dan asin yang
bermanfaat untuk mengeluarkan keringat, tetapi tidak dpat dijadikan sari
kehidupan manusia.
Ilmu
sastra ynag berhubungan dengan tanggapan pembaca terhadap karya sastra disebut
estetik resepsi, yaitu ilmu keindahan yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan
pembaca atau resepsi pembaca terhadap karya sastra. Dari waktu ke waktu karya
sastra selalu mendapat tanggapan para pembaca. Tiap pembaca berbeda dalam
menanggapi sebuah karya sastra. Perbedaan pembacaan karya sastra seorang
pembaca dengan pembaca yang lain, dan dari satu periode ke periode lain itu
disebabkan oleh dua hal yang merupakan dasar teori estetika resepsi. Pertama
prinsip harapan Horizon dan kedua adalah tempat terbuka.
Horizon
harapan adalah harapan-harapan pembaca karya sastra sebelum membacanya. Pembaca
sudah mempunyai wujud karya sastra dalam dirinya. Kalau wujud harapannya
kemudian sesuai dengan wujud harapan dalam karya sastra yang dibacanya, maka ia
akan mudah menerimanya. Akan tetapi kalau tidak sama wujud harapannya, maka ia
akan mereaksinya baik dengan sikap antusias atau sikap menolaknya. Mungkin
sebuah karya sastra pada akhirnya tidak ditanggapi oleh generasi berikutnya,
maka karya sastra itu menjadi karya sastra masa lalu dan tidak mempunyai
sejarah lagi. Mungkin juga, sebuah karya sastra yang pada waktu terbitnya tidak
menerima tanggapan karena tidak sesuai dengan horizon harapan pada waktu itu,
pada periode selanjutnya mendapat tanggapan yang baik. Contoh yang terkenal
adalah novel Madame Bovary karya gustave flubert, novelis perancis yang
dianggap sebagai bapak realisme modern.
Horizon
harapan pembaca itu ditentukan oleh tiga kriteria (segers,1978:41). Pertama,
horizon harapan ditentuka oleh norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang
telah dibaca oleh pembaca: kedua, ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman
atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya: ketiga ditentukan oleh
pertentangan antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami
karya sastra, baik dalam horizon sempit dari harapan-harapan sastra maupun
horizon luas dari pengetahuannya tentang kehidupan. Karya sastra merupakan
fiksi (rekaan), tetapi juga berisi kenyataan kehidupan yang sesungguhnya. Oleh
karena itu, pembaca yang belum dewasa, mungkin sekali tidak dapat memahami
pengalaman orang dewasa yang tertuang dalam karya sastra.
Disamping
horizon harapan yang menyebabkan perbedaan pembacaan dan pemaknaan terhadap
sebuah karya sastra, maka tempat terbuka (Leerstelle) dalam karya sastra itu
sendiri yang menyababkan perbedaan tanggapan. Hal ini berhubungan dengan sifat
karya sastra yang mengandung kemungkinan banyak tafsir. Misalnya dipergunakan
kiasan-kiasan seperti metafora dan metonomi; begitu juga, dipergunakan gaya
sugestif, tidak melukiska sesuatu secara detail (renik), hanya yang poko-pokok
saja; begitu juga dipergunakan bentuk visual: tipogravi sajak, homologues,
ataupun enjambement. Semuanya itu memberikan kemungkinan banyak tafsir.
Metode Estetika Resepsi
Teori
estetika resepsi menekankan perhatian utama pada pembaca karya sastra diantara
jalinan segitiga: pengarang karya sastra, dan masyarakat pembaca. Sebuah karya
sastra bukanlah objek yang berdiri sendiri dan memberikan wajah yang sama
kepada tiap-tiap pembaca disetiap periode. Dalam metode estetika resepsi,
berdasarkan prinsip diatas, diteliti tanggapan-tanggapan disetiap periode yaitu
tanggapan-tanggapan sebuah karya sastra oleh para pembacanya. Yang dimaksudkan
pembaca dalam hubungan ini adalah pembaca yang cakap atau ahli, bukan pembaca
awam. Mereka adalah para kritikus dan ahli sastra yang dipandang dapat mewakili
para pembaca pada periodenya.
Dengan
demikian, penelitian dengan metode estetika resepsi seperti yang dikemukakan oleh
segers ialah (1) merekonstruksi bermacam-macam konkretisasi sebuah karya sastra
dalam masa sejarahnya. (2) meneliti hubungan diantara konkretisasi-konkretisasi
itu disatu pihak dan dilain pihak meneliti hubungan diantara karya sastra
dengan konteks historis yang memiliki konkretisasi-konkretisasi itu (jadi ini
berupa penelitian hubungan intertekstual antara karya sastra)
Untuk
meneliti norma-norma yang menentukan horizon harapan terhadap karya sastra
tersebut, dapat dilakukan penelitian konkretisasi secara sinkronis ataupun
diakronis. Penelitian sinkronis adalah penelitian tanggapan para pembaca
seperiode terhadap sebuah (atau beberapa) karya sastra, yaitu penelitian
norma-norma apa yang menentukan horizon harapan sebuah periode. Penelitian
diakronis adalah penelitian konkretisasi sebuah (atau beberapa) karya sastra
dari periode ke periode lain. Disini diteliti norma-norma apa yang menyebabkan
perbedaan tanggapan tersebut.
Seperti terlihat pada contoh
resepsi terhadap beberapa sajak Chairil Anwar. Sejak terbitnya sampai sekarang,
sajak-sajak Chairil Anwar mendapat resepsi para pembacanya baik resepsi positif
maupun negatif, yang disebabkan oleh horizon harapan yang berbeda.
Dikemukakan Jassin (1962), Chairil pertama
kali muncul tahun 1943. ia membawa seberkas sajak untuk dimuat dalam panji
pustaka yang redakturnya merupakan wakil suara pemerintah Jepang, menolak
sajak-sajaknya. Dikatakan bahwa sajak-sajaknya individualistis.
Kiasan-kiasannya terlalu barat seperti ahasveros, padahal ada langlangbuana dalam
Hikayat Indonesia “Eros” adalah “Kama” (Ratih) Dewi Cinta. Kata pemimpin
redaksi, “kita harus kembali ke Timur” ia menyuarakan suara Gun Kenetzu-han,
jawatan propaganda dan sensor Jepang.
Dikemukakan
Jassin bahwa Chairil Anwar melancarkan serangan terhadap bentuk sajak lama,
termasuk sajak pujangga baru. Dikemukakan contoh-contoh sajak-sajak baru adalah
sajak-sajaknya sendiri yang revolusioner bentuk dan isi, sasak-sajak yang
meledak-ledak, melambung ke ketinggian. jadi pada awalnya, sajak-sajak Chairil
Anwar ditolak karena individualistisnya yang justru merupakan ciri khas
sajak-sajaknya.
DAFTAR PUSTAKA
Rachmat, Joko
Pradopo.1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Yudiono, KS.
2000. Ilmu Sastra. Semarang : Mimbar.
Terima kasih atas tuliasan Dian, sangat membantu saya dalam mencari artikel perihal Resepsi sastra. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih.
BalasHapusSalam.
Irwan