Sabtu, 05 Mei 2012

ESTETIKA RESEPSI


ESTETIKA RESEPSI DAN TEORI PENERAPANNYA

Estetika resepsi atau estetika tanggapan adalah estetika (ilmu keindahan) yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan atau resepsi pembaca terhadap karya sastra karena karya sastra itu tidak lepas dari individu atau masyarakat.
Pada dasarnya orientasi terhadap karya sastra itu ada 4 macam seperti digambarkan oleh M.H Abrams, yaitu :
  1. mimetik/alam/universal, mimetik menjadi alat tiruan bagi sebuah karya sastra sebagai kreatifitas pengarang. Menurut Abrams, karya sastra adalah sebagai tiruan alam atau penggambaran alam. Segala sesuatu yang terdapat dalam karya sastra adalah wujud yang terdapat di alam semesta. Segala isi yang ada di dunia ini menjadi ide yang dituangkan dalam sebuah karya sastra.
  2. objektif/karya sastra, karya sastra tidak adalah alat pengungkapan perasaan pengarang yang menjadi kreatifitasnya. karya sastra menjadi objek tiruan alam. Sebuah karya sastra tidak akan mampu menjadi objek yang estetis tanpa meniru dari alam karena manusia hidup di alam dengan sarana-saranya yang ada di dunia, sehingga jika manusia menjadikan karya sastra tanpa tanpa tiruan dari alam maka mustahil karya sastra itu akan menimbulkan rasa bagi pembacanya. Karena rasa yang ada dalam jiwa pembaca itu karena pembaca merasakannya di alam yaitu tempat manusia hidup.
  3. ekspresif/pengarang, adalah sebagai pembuat ide dan kreatifitas. Seorang pengarang melihat kenyataan atau realitas alam lalu alam memunculkan sebuah ide dalam fikiran pengarang kemudian pengarang menuangkannya dalam sebuah karya sastra. Maka faktor mimetik dalam teori Abrams  sangat berpengaruh dalam kesastraan karena pengarang tidak akan mampu berkreatifitas tanpa adanya tiruan yaitu alam semesta.
  4. pragmatik/pembaca, pembaca ketika melihat sebuah karya sastra pasti akan melakukan sebuah tanggapan atau komentar tentang karya sastra yang dibacanya, karena dalam hal ini karya sastra melakukan defamiliarisasi dalam bentuk bahasanya sehingga defamiliarisasi mampu menggugahkan hati pembaca dengan rasa yang ada di jiwanya karena bahasa defamiliarisasi berbeda dengan bahasa praktis atau bahasa komunikasi. Pembaca mendapatkan sebuah rasa ketika membaca sebuah karya sastra karena karya sastra adalah memuat tentang tiruan alam sehingga pembaca mampu merasakan apa yang dibahas oleh kajian karya sastra tersebut.
Sebuah karya sastra tidak akan mempunyai nilai tanpa adanya tanggapan dan penilaian pembaca, karena itu faktor pragmatik juga sangat penting diterapkan yaitu pada teori resepsi pembaca.

Dalam hubungan ini estetika resepsi itu termasuk pada orientasi pragmatik. Karya sastra itu sangat erat hubunganya dengan pembaca, yaitu karya sastra itu ditujukan kepada pembaca, bagi kepentingan masyarakat pembaca. Disamping itu pembacalah yang menentukan makna dan nilai karya sastra. Karya sastra itu tidak mempunyai arti tanpa ada pembaca yang menanggapinya dan karya sastra akan mempunyai nilai karena pembaca yang menilai.
Dalam hubunganya dengan resepsi atau tanggapan pembaca itu akan berbeda beda tanggapannya karena pembaca mempunyai tangapan dan pemikiran sendiri mengenai objeknya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cakrawala harapannya. Cakrawala harapan ini adalah harapan-harapan seorang pembaca terhadap karya sastra. Tiap pembaca mempunyai wujud sebuah karya sastra sebelum ia membacanya. Dalam arti, seorang pembaca mempunyai konsep tertentu tentang sebuah karya sastra baik puisi, cerpen, novel, atau bentuk karya sastra lainnya. Seorang pembaca itu mengharapkan bahwa karya sastra yang dibaca itu sesuai dengan pengertian sastra yang dimilikinya. Dengan demikian, pengertian mengenai sastra seseorang dengan orang lain itu mungkin berbeda, lebih-lebih pengertian sastra antara sebuah periode dengan periode lain itu tentu akan sangat berbeda. Perbedaan itu disebut perbedaan cakrawala harapan. Adapun cakrawala harapan seseorang itu ditentukan oleh pendidikan, pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan dalam menanggapi karya sastra. Begitu juga halnya cakrawala harapan sebuah periode. Hal ini seperti juga diterangkan oleh Segers, bahwa cakrawala harapan itu ditentukan oleh tiga faktor, yaitu:
  1. Ditentukan oleh norma-norma yang terdapat dari teks yang telah dibaca
  2. Ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya.
  3. Pertentangan antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami baik dari unsur intrinsik maupun ekstrinsik sebuah karya sastra.
Sebuah karya sastra adalah wujud ekspresi yang padat, maka hal-hal yang kecil tidak disebutkan, begitu juga hal-hal yang tak langsung berhubungan dengan cerita atau masalah. Dengan demikian, setiap pembaca diharapkan mengisi kekosongan tersebut.
Dalam teori estetika resepsi hal yang paling utama diperhatikan adalah pembaca karya sastra yang berada diantara posisi segitiga pengarang, karya sastra, dan masyarakat pembaca. Hal ini disebabkan oleh kehidupan historis sebuah karya sastra tidak terfikirkan tanpa partisipasi para pembacanya.
Apresiasi pembaca pertama terhadap sebuah karya sastra akan dilanjutkan dan diperkaya melalui tanggapan-tanggapan yang lebih lanjut dari generasi ke generasi. Dengan cara ini makna historis karya sastra akan ditentukan dan nilai estetika terungkap. Sebuah karya sastra bukanlah objek yang berdiri sendiri dan yang memberikan wajah yang sama pada masing-masing pembaca disetiap periode.
Dalam metode estetika resepsi diteliti tanggapan-tanggapan setiap periode, yaitu tanggapan-tanggapan sebuah karya sastra oleh para pembacanya, yaitu pembaca yang kritikus sastra dan ahli sastra yang dipandang dapat mewakili para pembaca pada periodenya.
Dalam meneliti karya sastra berdasarkan metode estetik resepsi, sesungguhnya dapat dilakukan dengan dua cara yaitu cara sinkronik dan diakronik. Sinkronik ialah cara penelitian resepsi terhadap sebuah karya sasra dalam satu masa atau periode. Jadi, disini yang diteliti oleh resepsi pembaca dalam satu kurun waktu. Namun, harus diingat bahwa dalam satu kurun waktu itu, biasanya ada norma-norma yang sama dalam menanggapi karya sastra. Akan tetapi, karena tiap-tiap orang itu memiliki cakrawala harapan sendiri-sendiri, maka mereka akan menanggapi sebuah karya sastra secara berbeda-beda seperti dalam paham seni untuk seni dan seni untuk masyarakat yaitu dalam teori Marxisme. Marxis mengatakan bahwa pengarang harus membela kaum bawah dan kaerya sastra yang baik adalah karya sastra ynag membela kaum bawah, kaum bawah dalam hal ini adalah masyarakat. Marxis sangat menentang seni untuk seni karena menurutnya seni yang baik adalah seni yang memuat mengenai keadaan masyarakat dan kenyataan hidupnya.
Teori resepsi pembaca juga dapat dihubungkan dengan paham formalisme karena formalis juga menekankan konsep deotomatisasi. Formalisme lebih menekankan pada bentuk (form) dan isi dalam bahasa. Ketertarikan utama dari kaum formalis adalah untuk menentukan perbedaan kualitas dari puisi dan seni dalam perbandingan dengan bahasa praktis, hal ini berhubungan dengan bahasa yang defamiliarisasi, karena kaum formalisme menekankan dua konsep dalam penelitian sastra, yaitu : konsep defamiliarisasi dan deotomisasi. Konsep defamiliarisasi adalah konteks sifat sastra yang asing, para pengarang boleh saja membuat teks sastra berbeda dengan suasana sesungguhnya, akibatnya teks sastra akan sulit dipahami karena menggunakan bahasa yang spesifik. Dalam hal ini teks sastra kehilangan otomatisasi (deotomatisasi) untuk dipahami oleh pembaca. Pembaca dapat membuat tafsiran sendiri-sendiri karena pembaca tidak secara otomatis atau langsung dapat menangkap makna teks tanpa tafsiran, ini hubungannya dengan otomatisasi persepsi pembaca yaitu semua pembaca mempunyai tafsirannya sendiri-sendiri secara berbeda.
Adapun mengetahui tanggapan yang bermacam-macam itu dapat dikumpulkan tanggapan-tanggapan pembaca yang menulis (kritikus) ataupun dapat dilakukan dengan mengedarkan angket kepada pembaca-pembaca sekurun waktu. Dari hasil angket yang diedarkan itu, dapat diteliti konkretisasi dari masing-masing pembaca.  Dengan demikan, dapat disimpulkan bagaimana nilai sebuah karya sastra itu pada suatu kurun waktu.
            Akan tetapi, meskipun telah dapat diketahui konkretisasi pembaca-pembaca terhadap suatu karya sastra pada suatu kurun waktu, bagaimanapun berbagai macam tanggapan atas sebuah karya sastra, namun nilai seni karya satra tersebut belum teruji historis. Maka, penelitian secara diakronislah yang akan lebih kuat menunjukan nilaqi seni sebuah karya sastra sepanjang waktu yang telah dilaluinya.
            Penilaian secara diakronis ini dapat dilakukan seperti yang telah disinggung dalam fasal empat, yaitu dengan mengumpulkan tanggapan-tanggapan pembaca-pembaca ahli sebagai wakil pembaca dari tiap periode.  Misalnya saja, bila orang akan meneliti konkretisasi dan nilai sajak Chairil Anwar, maka dapat diteliti bagaimana resepsi pembaca semasa karya itu terbit, kemudian diteliti resepsi-resepsi pada periode-periode selanjutnya, dan resepsi pada periode sekarang ini terhadap karya-karya tersebut. Dengan demikian akan dapat diketahui atau disimpulkan bagaimana nilai estetik sebuah karya sastra berdasarkan resepsi-resepsi setiap periode itu. Dalam penelitian itu diteliti dasar-dasar apa yang dipergunakan oleh pembaca disetiap periode ; norma-norma apa yang menjadi dasar konkretisasinya ; dan diteliti kriteria apa yang menjadi dasar penilaiannya. Bila sebuah karya sastra dapat diketahui dasar konkretisasinya dan penilainnya disetiap periode yang dilaluinya, maka dapat disimpulkan nilai estetiknya sebagai karyua seni sastra. Bila disetiap periode karya sastra tersebut mendapat nilai positif, hal ini berarti karya sastra tersebut bernilai abadi, karya sastra tersebut bernilai tinggi.
            Penilaian estetika tanggapan (resepsi) dapat dikenakan pada naskah-naskah tulisan tangan sastra lama maupun sstra modern yang tercetak.

·         Penelitian Estetika Resepsi Naskah Tulisan Tangan Sastra Lama
Dalam karya sastra lama yang dicipta dalam kurun waktu sebelum ada percetakan, terdapat beberapa versi naskah tulisan tangan dari sebuah karya sastra. Hal ini disebabkan oleh penurunan naskah tulisan tangan dilakukan oleh beberapa orang yang menyalin naskah dengan tulisan tangan.
Dalam meneliti salah satu versi ini biasanya peneliti menggunakan metode perbandingan teks, membandingkan naskah yang satu dengan yang lain. Metode ini disebut metode stema yang diharapkan dapat ditumukan untuk yang diperkirakan menyamai bentuk archetype-nya, tulisan aslinya yang sudah tidak ada. Menurut teori ini dianggap terdapat kesalahan-kesalahan dalam menurun dari satu naskah ke naskah turunanya, karena dari waktu ke waktu naskah diturun, maka makin lama makin banyak kesalahan yang diturunkan sehingga naskah yang termuda mungkin akan sangat menyimpang dari naskah aslinya. Akan tetapi berdasarkan teori estetika resepsi mungkin kesalahan-kesalahan tersebut memang sengaja dibuat oleh para penyalinnya. Hal ini disebabkan oleh tiap periode mempunyai cakrawala harapannya sendiri. Maka, menurut teori estetika tanggapan, para penyalin itu bukan hanya sekedar menurun, melainkan menciptakan versi yang baru. Dengan demikian, menurut teori estetika tanggapan, tiap naskah itu dianggap asli dan tidak perlu dicari archetype-nya.

·         Penelitian Estetika Resepsi pada Karya Sastra Modern
Untuk meneliti karya sastra modern pada dasarnya sama dengan penelitian resepsi lama yaitu dengan metode seperti dikemukakan Segers yang telah terurai pada Fasal empat misalnya bila orang hendak meneliti resepsi sajak-sajak Chairil Anwar, orang merekonstruksikan macam-macam konkretisasinya dalam masa sejarahnya. Dapat dikatakan yang pertama kali menaggapi sajak-sajak Chairil Anwar adalah H.B. Jassin ; tanggapan berjudul “Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45”. H.B. Jassinmenilai sajak-sajak Chairil Anwar secara judisial ekspresif, dengan kreteria estetik dan ekstra estetik. Dekatakan sajaknya revolusioner bentuk dan isi, meledak-ledak, melambung ke ketinggian menggamangkan dan menerjun ke kedalaman menghimpit-mengerikan.
            Disamping itu ada pula tanggapan dari golongan sastrawan lama atau kritikus LEKRA ynag berpaham “seni untuk rakyat” dan bersemboyan polotik sebagai panglima. Salah satu tanggapan dari kritikus LEKRA yang dpat dianggap sebagai wakilnya adalah Klara Akustia dalam tulisannya yang berjudul “Kepada Seniman Universil”. Secara bentuk ia sependapat dengan Jassin, tetapi corak revolusi kesusastraan Chairil Anwar tidak mengenai isi, hanya mengenai bentuk, yaitu formnya saja. Ia menolak pandangan hidup Chairil Anwar, tetapi mengakui bentuk sastra barunya. Dikemukakan kriteria penilaiannya : ‘Syarat hasil sastra yang tinggi nilai seninya bagi kita adalah dia harus isi dan bentuknya! Artinya dia harus indah, berseni, dan membawa pandangan hidup yang maju.
            Setelah J assin dan seniman LEKRA, maka terdapat Sutan Takdir Alisyahbana menanggapi dan memberi penilaian kepada sajak-sajak Chairil Anwar, namun pandangannya dapat dianggap mewakili suara angkatan Pujangga Baru. Tanggapan tampak dlaam artikelnya “Penilaian Chairil Anwar Kemabali”. Takdir menilai bahwa Chairil Anwar membawa suasana, gaya, ritme, tempo, nafas, dan kelincahan yang baru kepada sastra Indonesia.
            Karena penilaian Takdir Alisjahbana pragmatik, yang menghendaki karya sastra berguna bagi pembangunan bangsa, maka sajak-sajak Chairil Anwar yang pesimistis dan berisi pemberontakan itu diupamakan sebagai rujam asam, pedas, dan asin yang bermanfaat untuk mengeluarkan keringat, tetapi tidak dpat dijadikan sari kehidupan manusia.
            Ilmu sastra ynag berhubungan dengan tanggapan pembaca terhadap karya sastra disebut estetik resepsi, yaitu ilmu keindahan yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan pembaca atau resepsi pembaca terhadap karya sastra. Dari waktu ke waktu karya sastra selalu mendapat tanggapan para pembaca. Tiap pembaca berbeda dalam menanggapi sebuah karya sastra. Perbedaan pembacaan karya sastra seorang pembaca dengan pembaca yang lain, dan dari satu periode ke periode lain itu disebabkan oleh dua hal yang merupakan dasar teori estetika resepsi. Pertama prinsip harapan Horizon dan kedua adalah tempat terbuka.
            Horizon harapan adalah harapan-harapan pembaca karya sastra sebelum membacanya. Pembaca sudah mempunyai wujud karya sastra dalam dirinya. Kalau wujud harapannya kemudian sesuai dengan wujud harapan dalam karya sastra yang dibacanya, maka ia akan mudah menerimanya. Akan tetapi kalau tidak sama wujud harapannya, maka ia akan mereaksinya baik dengan sikap antusias atau sikap menolaknya. Mungkin sebuah karya sastra pada akhirnya tidak ditanggapi oleh generasi berikutnya, maka karya sastra itu menjadi karya sastra masa lalu dan tidak mempunyai sejarah lagi. Mungkin juga, sebuah karya sastra yang pada waktu terbitnya tidak menerima tanggapan karena tidak sesuai dengan horizon harapan pada waktu itu, pada periode selanjutnya mendapat tanggapan yang baik. Contoh yang terkenal adalah novel Madame Bovary karya gustave flubert, novelis perancis yang dianggap sebagai bapak realisme modern.
            Horizon harapan pembaca itu ditentukan oleh tiga kriteria (segers,1978:41). Pertama, horizon harapan ditentuka oleh norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca: kedua, ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya: ketiga ditentukan oleh pertentangan antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami karya sastra, baik dalam horizon sempit dari harapan-harapan sastra maupun horizon luas dari pengetahuannya tentang kehidupan. Karya sastra merupakan fiksi (rekaan), tetapi juga berisi kenyataan kehidupan yang sesungguhnya. Oleh karena itu, pembaca yang belum dewasa, mungkin sekali tidak dapat memahami pengalaman orang dewasa yang tertuang dalam karya sastra.
            Disamping horizon harapan yang menyebabkan perbedaan pembacaan dan pemaknaan terhadap sebuah karya sastra, maka tempat terbuka (Leerstelle) dalam karya sastra itu sendiri yang menyababkan perbedaan tanggapan. Hal ini berhubungan dengan sifat karya sastra yang mengandung kemungkinan banyak tafsir. Misalnya dipergunakan kiasan-kiasan seperti metafora dan metonomi; begitu juga, dipergunakan gaya sugestif, tidak melukiska sesuatu secara detail (renik), hanya yang poko-pokok saja; begitu juga dipergunakan bentuk visual: tipogravi sajak, homologues, ataupun enjambement. Semuanya itu memberikan kemungkinan banyak tafsir.
Metode Estetika Resepsi
            Teori estetika resepsi menekankan perhatian utama pada pembaca karya sastra diantara jalinan segitiga: pengarang karya sastra, dan masyarakat pembaca. Sebuah karya sastra bukanlah objek yang berdiri sendiri dan memberikan wajah yang sama kepada tiap-tiap pembaca disetiap periode. Dalam metode estetika resepsi, berdasarkan prinsip diatas, diteliti tanggapan-tanggapan disetiap periode yaitu tanggapan-tanggapan sebuah karya sastra oleh para pembacanya. Yang dimaksudkan pembaca dalam hubungan ini adalah pembaca yang cakap atau ahli, bukan pembaca awam. Mereka adalah para kritikus dan ahli sastra yang dipandang dapat mewakili para pembaca pada periodenya.
            Dengan demikian, penelitian dengan metode estetika resepsi seperti yang dikemukakan oleh segers ialah (1) merekonstruksi bermacam-macam konkretisasi sebuah karya sastra dalam masa sejarahnya. (2) meneliti hubungan diantara konkretisasi-konkretisasi itu disatu pihak dan dilain pihak meneliti hubungan diantara karya sastra dengan konteks historis yang memiliki konkretisasi-konkretisasi itu (jadi ini berupa penelitian hubungan intertekstual antara karya sastra)
            Untuk meneliti norma-norma yang menentukan horizon harapan terhadap karya sastra tersebut, dapat dilakukan penelitian konkretisasi secara sinkronis ataupun diakronis. Penelitian sinkronis adalah penelitian tanggapan para pembaca seperiode terhadap sebuah (atau beberapa) karya sastra, yaitu penelitian norma-norma apa yang menentukan horizon harapan sebuah periode. Penelitian diakronis adalah penelitian konkretisasi sebuah (atau beberapa) karya sastra dari periode ke periode lain. Disini diteliti norma-norma apa yang menyebabkan perbedaan tanggapan tersebut.
Seperti terlihat pada contoh resepsi terhadap beberapa sajak Chairil Anwar. Sejak terbitnya sampai sekarang, sajak-sajak Chairil Anwar mendapat resepsi para pembacanya baik resepsi positif maupun negatif, yang disebabkan oleh horizon harapan yang berbeda. Dikemukakan  Jassin (1962), Chairil pertama kali muncul tahun 1943. ia membawa seberkas sajak untuk dimuat dalam panji pustaka yang redakturnya merupakan wakil suara pemerintah Jepang, menolak sajak-sajaknya. Dikatakan bahwa sajak-sajaknya individualistis. Kiasan-kiasannya terlalu barat seperti ahasveros, padahal ada langlangbuana dalam Hikayat Indonesia “Eros” adalah “Kama” (Ratih) Dewi Cinta. Kata pemimpin redaksi, “kita harus kembali ke Timur” ia menyuarakan suara Gun Kenetzu-han, jawatan propaganda dan sensor Jepang.
            Dikemukakan Jassin bahwa Chairil Anwar melancarkan serangan terhadap bentuk sajak lama, termasuk sajak pujangga baru. Dikemukakan contoh-contoh sajak-sajak baru adalah sajak-sajaknya sendiri yang revolusioner bentuk dan isi, sasak-sajak yang meledak-ledak, melambung ke ketinggian. jadi pada awalnya, sajak-sajak Chairil Anwar ditolak karena individualistisnya yang justru merupakan ciri khas sajak-sajaknya.
         
             

DAFTAR PUSTAKA
Rachmat, Joko Pradopo.1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Yudiono, KS. 2000. Ilmu Sastra. Semarang : Mimbar.

1 komentar:

  1. Terima kasih atas tuliasan Dian, sangat membantu saya dalam mencari artikel perihal Resepsi sastra. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih.

    Salam.
    Irwan

    BalasHapus